BANTEN | KH. Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin alBantani atau yang akrab disebut Abuya Dimyati atau di kalangan orang Jawa biasa disebut Mbah Dim. Ia dikenal sebagai ulama yang kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara. Kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Mbah Dim lahir sekitar tahun 1925 dari
pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan
kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren
lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi
keilmuannya.
Kepopuleran Mbah Dim setara dengan Abuya
Busthomi (Cisantri) dan kiai Munfasir (Cihomas). Mbah Dim adalah tokoh yang
senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika dia lebih ingin
“menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya
dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru
pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu,
Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan
menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai.
Semasa hidupnya, masyarakat Banten
menjulukinya sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama
yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan
kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenal sebagai penganut tarekat
Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Sewaktu masih hidup, pesantrennya tidak pernah
sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang
namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding
dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng.
Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima
tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri.
Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari
semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati berguru pada
ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri
Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah
Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua gurunya bermuara pada Syech Nawawi al
Bantani.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal
yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji
ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering
diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan
sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang
sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah
dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan
dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip
dengan pemerintah ketika terjadi pemilu saat itu. Abuya dituduh menghasut dan
anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan
kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya
Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan
tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/1959 M.
Kemudian kitab Ashlul Qodr yang didalamya
khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya
menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya
yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid,
Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al
Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.
Pada malam Jumat, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban
1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Islam kehilangan salah seorang ulama
kharismatik, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu
Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. []
Komentar0