Logo Indosia sentris Logo Indosia sentris
  • Home
  • Nasional
  • Regional
  • Heritage
  • Lifestyle
    • Pariwisata
  • Saintek
  • Ekonomi
Reading: Ketika Ekonomi Indonesia Tumbuh Loyo
Share
Search
Font ResizerAa
Khazanah IndonesiaKhazanah Indonesia
  • Nasional
  • Pariwisata
  • Heritage
  • Saintek
Search
  • Home
  • Nasional
  • Regional
  • Heritage
  • Lifestyle
    • Pariwisata
  • Saintek
  • Ekonomi
Follow US
Made by ThemeRuby using the Foxiz theme. Powered by WordPress
Home » Blog » Ketika Ekonomi Indonesia Tumbuh Loyo
Dialektika

Ketika Ekonomi Indonesia Tumbuh Loyo

By admin
Last updated: 03/07/2025
7 Min Read
Share

INDONESIASENTRIS.COM | “Pertumbuhan ekonomi Indonesia terendah dalam beberapa dekade terakhir.” Kalimat itu dilontarkan oleh calon Deputi Gubernur Bank Indonesia di hadapan Komisi XI DPR RI dalam sebuah sesi fit and proper test yang berlangsung di gedung mewah bercat putih, Senayan.

Sesi itu mestinya menjadi ajang adu gagasan, tapi yang terjadi justru mirip pidato perpisahan seorang pejabat: banyak mengeluh, minim usul. Yang hadir mendengarkan dengan penuh takzim, seolah yang disampaikan adalah takdir, bukan hasil kebijakan.

Lalu publik dibuat bingung: ini forum uji kelayakan atau seminar motivasi gagal? Yang terdengar adalah paparan angka dan pernyataan galau: ekonomi Indonesia kini stagnan di 4-5%, bahkan disebut sebagai yang terendah sejak era 1970-an.

Tapi tak satu pun yang bertanya keras: kenapa bisa begini? Apa yang salah? Dan, lebih penting lagi, bagaimana jalan keluarnya?

Padahal dampaknya terasa nyata. Misalnya, harga beras medium di pasar rakyat kini menembus Rp15 ribu per kilogram, padahal upah harian buruh tani di banyak desa masih di kisaran Rp60 ribu.

Seorang ibu rumah tangga di Cirebon bercerita, sekarang harus mencampur beras dengan jagung pipil agar cukup sebulan. Itu bukan nostalgia zaman Jepang, tapi kenyataan hari ini. Tapi, trik ini bolehlah, campuran jagung bikin nasi lebih sehat.

Bicara soal pertumbuhan ekonomi, para pejabat masih saja mengagungkan GDP seperti jimat. Mereka suka menyebut bahwa Indonesia masih “tumbuh positif,” padahal yang tumbuh sebenarnya adalah selisih antara kelas atas dan kelas bawah.

GDP bisa naik karena sektor tambang menggeliat, padahal rakyat di sekitar tambang di Kalimantan justru kehilangan akses air bersih dan tanah tani. Penduduk lokal menonton alat berat bekerja siang-malam, sementara anak mereka tetap sekolah sambil bertelanjang kaki.

Ada yang menyebut, GDP kita dulu pernah menyentuh 7,5% berkat oil boom. Itu benar. Tapi siapa yang menikmati boom tersebut? Ketika harga minyak naik di tahun 1970-an, pembangunan memang digenjot, tapi korupsi juga ikut menggeliat. Sementara itu, nelayan di pesisir Sulawesi tetap hidup tanpa listrik dan akses pasar.

Kemudian, ketika industri manufaktur jadi motor ekonomi, pertumbuhan menjadi 6,3%. Tapi lihat sekarang, banyak pabrik sepatu di Tangerang pindah ke Vietnam. Tenaga kerja Indonesia kehilangan pekerjaan, sedangkan pelatihan vokasi yang dijanjikan pemerintah hanya menghasilkan sertifikat, bukan keahlian.

Kini, ekonomi kita disokong sektor komoditas. Tapi sektor ini fluktuatif. Ketika harga sawit naik, perusahaan eksportir untung besar. Tapi ketika harga jatuh, petani kecil yang menanggung rugi. Seorang petani sawit di Riau mengaku harus menebang sebagian lahannya dan mengganti dengan pisang, karena ongkos panen lebih mahal dari harga jual buah.

Yang lebih menyedihkan, pemerintah belum juga belajar bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan hanya akan memperbesar jurang sosial.

Data BPS sendiri menunjukkan bahwa rasio gini Indonesia masih di angka 0,39 —yang artinya ketimpangan belum beranjak jauh dari garis bahaya. Di Menteng Jakarta, satu keluarga bisa memiliki empat rumah kosong untuk investasi, sementara di Jatinegara banyak buruh menyewa kamar triplek 3×3 meter yang disekat tirai dan tanpa jendela.

Sementara itu, pada era Jokowi, program-program besar seperti IKN (Ibu Kota Negara) terus digelontorkan dananya. Proyek jalan tol, kereta cepat, dan berbagai infrastruktur mewah tetap dilanjutkan.

Tapi coba tanya warga perbatasan di NTT: mereka masih berjalan kaki belasan kilometer untuk mencapai Puskesmas. Petani garam di Madura? Mereka masih mengandalkan cuaca, bukan teknologi, karena bantuan alat dari kementerian hanya datang menjelang pemilu.

Solusi dari para pejabat seringkali terdengar normatif: sinergi, kolaborasi, hilirisasi, peningkatan kapasitas SDM. Tapi rakyat sudah kenyang dengan istilah-istilah semacam itu.

Yang dibutuhkan bukan sinergi di atas kertas, tapi harga pupuk yang bisa dibeli. Bukan kolaborasi antar lembaga, tapi saluran irigasi yang tak macet.

Seorang petani cabe di Magelang mengeluh, selama musim tanam ia menghabiskan Rp1 juta untuk pupuk, tapi saat panen, harga cabe hanya Rp7 ribu per kilo. Daripada rugi ongkos panen, ia biarkan tanamannya membusuk. Ironisnya, tiga bulan kemudian harga cabe di kota bisa melonjak jadi Rp70 ribu per kilo. Petani tetap merugi, konsumen juga menjerit.

Beberapa pemikir alternatif mengusulkan agar kita tak lagi mengejar pertumbuhan semata. Yang lebih penting adalah arah pertumbuhan itu sendiri.

Jika pertumbuhan ditopang sektor tambang dan konsumsi kredit, maka itu seperti membangun rumah dengan pondasi pasir. Pemerintah seharusnya bisa mengalihkan insentif dan perhatian ke sektor yang menyerap lebih banyak tenaga kerja, seperti pertanian dan perikanan.

Di beberapa negara Skandinavia, pendekatan semacam ini sudah dilakukan. Bahkan ada yang secara terbuka mengadopsi konsep de-growth, yakni pertumbuhan negatif demi menjaga keberlanjutan alam dan keseimbangan sosial.

Tentu, kebijakan seperti ini butuh keberanian politik. Tapi apa gunanya kekuasaan bila hanya untuk menyenangkan pasar dan melayani oligarki?

Rakyat tidak butuh pertumbuhan 8% kalau mereka tetap tak bisa makan ikan segar. Rakyat tidak butuh sinyal optimisme dari Istana kalau harga sewa lapak kaki lima saja kini bisa setara UMR.

Fit and proper test itu seharusnya menjadi tempat menguji keberanian moral, bukan sekadar mengulang grafik ekonomi. Tapi sayangnya, yang terjadi hanyalah presentasi PowerPoint tanpa api.

Para calon pejabat bicara seolah sedang menghadapi dewan direksi, bukan wakil rakyat. Dan anggota DPR pun lebih sibuk mengejar waktu reses, daripada mengejar penjelasan.

Akhirnya, rakyat hanya bisa menyaksikan dari balik layar: ekonomi tumbuh loyo, janji tetap oyo-oyo, dan hidup terus berjalan seperti biasa.

Bila kita tak segera membalik arah, maka jangan salahkan jika suatu hari nanti yang stagnan bukan cuma ekonomi —melainkan juga harapan.

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 3/7/2025

TAGGED:ekonomi Indonesiaekonomi loyo

Sign Up For Daily Newsletter

Be keep up! Get the latest breaking news delivered straight to your inbox.
[mc4wp_form]
By signing up, you agree to our Terms of Use and acknowledge the data practices in our Privacy Policy. You may unsubscribe at any time.
Share This Article
Facebook Email Copy Link Print

SUBSCRIBE NOW

Subscribe to our newsletter to get our newest articles instantly!
[mc4wp_form]

HOT NEWS

phri dki jakarta

Rakerda PHRI, Ini Imbauan Menteri Lingkungan Hidup untuk Usaha Hotel dan Restoran

LifestylePariwisata
14/06/2025

Ketika Ekonomi Indonesia Tumbuh Loyo

INDONESIASENTRIS.COM | “Pertumbuhan ekonomi Indonesia terendah dalam beberapa dekade terakhir.” Kalimat itu dilontarkan oleh calon…

03/07/2025
boki-maruru-halteng

Inilah 8 Wisata Alam yang Eksotik di Halamahera Tengah, Yuk Berwisata!

Halmahera Tengah merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Berikut destinasi wisata Halmahera…

14/06/2025
Bayt-Al-Qur_an Museum-Istiqlal

Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal Resmi jadi Museum Tipe A

Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, yang berada di bawah naungan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ),…

21/01/2025

YOU MAY ALSO LIKE

Menjerit Dalam Diam

INDONESIASENTRIS.COM | Negara terus memproduksi manusia-manusia yang sejatinya telah menjadi 'binatang' yang paling buas. Berkumpul dan bermufakat, segelintir orang berhasil…

Dialektika
19/05/2025

Superpower Baru DPR

Mari kita tepuk tangan sejenak untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita yang begitu gesit dan inovatif! Berikut catatan Cak AT

Dialektika
05/02/2025

Teleportasi Kuantum Isra Mi’raj

INDONESIASENTRIS.COM | Ada satu pertanyaan besar yang sering muncul ketika membahas Isra' Mi’raj Nabi Muhammad Saw: bagaimana mungkin perjalanan sejauh…

Dialektika
30/01/2025

Tanda Tanya Danantara

Di Nusantara, negeri yang gemar membuat gebrakan unik, lahirlah sebuah lembaga maha gagah: Danantara. Apa itu

Dialektika
18/02/2025

Logo Ikon Indonesia Sentris

Web Syndication:

  • jurnalsecurity.com
  • destinasiindonesia.com
  • promoukm.com
  • seputarhalal.com
  • inilahkita.com
  • suarapesantren.com
  • beasiswakampus.com
  • suaramuslim.id
  • suaramasjid.com
  • caramakan.com
  • carasehat.net
  • beritakamera.com
  • rumahayah.com
  • inibekasi.com
  • persrilis.com
  • About Us
  • Tim Redaksi
  • Disclaimer
  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Pedoman Siber
  • Home
  • Nasional
  • Regional
  • Heritage
  • Lifestyle
    • Pariwisata
  • Saintek
  • Ekonomi
Seedbacklink
Khazanah IndonesiaKhazanah Indonesia
Follow US
@2025 | IndonesiaSentris
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?