JAKARTA | Di Hari Pahlawan, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Abdurrahman Rasyid Baswedan atau AR Baswedan.
Keputusan
penganugerahan gelar pahlawan nasional itu termaktub dalam Keputusan Presiden
Nomor 123/TK/2018. Keputusan itu ditandatangani Jokowi pada 6 November 2018
dengan pedoman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan.
“Kami bersyukur
pemerintah menganugerahkan itu dan ini amanat bagi kami semua meneruskan
perjuangan,” kata Anies di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis
(8/11/2018).
Sosok AR Baswedan
semasa hidupnya dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang
kemerdekaan Indonesia, diplomat, mubalig, dan sastrawan. Pada masa kemerdekaan,
pria yang wafat pada 16 Maret 1986 itu pernah menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
AR Baswedan yang
lahir di Ampel pada 1908 itu juga sempat menjadi Wakil Menteri Muda Penerangan
RI pada Kabinet Sjahrir. Selain itu ia diketahui pernah menjadi bagian dari
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan
Anggota Dewan Konstituante.
Menurut putra AR
Baswedan, Samhari Baswedan, ayahnya sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia di
masa penjajahan Belanda, ia aktif menyatukan kelompok keturunan Arab.
"Bapak berusaha meyakinkan bahwa mereka orang Indonesia karena lahir dan
hidup di Indonesia," ujarnya.
AR Baswedan juga
berjuang di bidang politik, bersama Agus Salim, Nazir Pamuntjak, dan Moh
Rasidin terbang ke Mesir untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan atas Indonesia.
Mereka berhasil dan Mesir menjadi negara pertama yang mengakui Indonesia.
AR Baswedan membawa
dokumen pengakuan tersebut kembali ke Indonesia. Namun saat itu Belanda
menggempur. "Jadi dokumen dimasukkan bapak ke kaos kaki, di bawah
telapaknya," kata Samhari. Untungnya, prajurit tak menemukan dokumen itu
sehingga ia bisa menyerahkannya kepada Amir Syarifuddin untuk diberikan kepada
Soekarno.
Samhari mengatakan
ayahnya melanjutkan perjuangan setelah kemerdekaan dengan bergabung bersama
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelahnya dia berkiprah
sebagai Ketua Dewan Dakwah.
Sepulang dari
Mesir, istrinya meninggal dunia, Juli 1948. Ia pun harus mengurus anak-anaknya
sendiri. Untuk menghibur hatinya, anak-anaknya yang berada di Solo diboyong ke
Ibukota dan tinggal di kantor
Administrasi RI di
Jalan Wilis, kotabaru,
Yogyakarta.
Baswedan sendiri
dipinjami rumah oleh seorang
pengusaha bernama Haji
Bilal dan tinggal di
Taman Yuwono Yogyakarta.
Namun, kondisi Yogyakarta justru makin panas, hingga dilancarkannya Agresi
Militer Belanda II Desember 1948.
Belanda masuk ke
Yogyakarta dengan cepat. Saat itu
di Gedung Negara
sedang diadakan sidang, AR Baswedan
berada juga di tempat
itu. Kepala Staf
Angkatan Perang T.B. Simatupang kemudian datang dan
merencanakan gerilya. Sementara AR Baswedan bergegas menuju ke RRI
untuk siaran kepada pemerintah darurat RI yang berada di Sumatera yang dipimpin
oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Dari RRI,
AR Baswedan pulang ke
Jalan Wilis, tetapi di sepanjang
jalan ia terhalang akibat adanya pengeboman. Sesampai di kediamannya, tentara
Belanda masuk ke rumahnya. Saat itu kekuatan
Belanda yang lengkap dengan tank disiapkan di lapangan SMA
III Kotabaru, Yogyakarta.
Pasukan Belanda
yang masuk ke
rumahnya adalah orang Ambon dan Timor. Rupanya mereka kasihan melihat
anak-anak AR Baswedan yang banyak dan masih kecil-kecil. Hanya
lemari bukunya yang diobrak-abrik. Rumahnya di Jalan Wilis, Kotabaru,
tidak aman karena
sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran pasukan Belanda.
AR Baswedan lalu menghubungi Moh Natsir, yang menyuruhnya agar menumpang
pada kemenakan Natsir (pegawai PLN) di Jalan Jetis. Rumah itu kecil dan hanya
bisa digunakan satu kamar sehingga
dipergunakan untuk tidur satu keluarga.
Tuhan menolong
hidupnya karena saat itu kemenakan Moh. Natsir mengurusi koperasi PLN, antara
lain punya persediaan beberapa karung
teh. AR Baswedan pergi tiap
hari mencari pembeli pukul
06.00-10.00. Setelah jam itu, keadaan kota sangat sepi, tidak ada orang yang
berjalan, sedangkan di setiap perempatan jalan Belanda menempatkan senapan
mesin.
Pengalaman itu bagi
anak-anaknya merupakan suatu hal yang amat menggembirakan. Karena pada saat itu
PMI memesan satu karung teh pada Baswedan yang dibawanya dengan gerobak dan
didorongnya sendiri ke kantor PMI. Hasil penjualan teh itu dapat dipergunakan untuk
mencukupi makan anak-anaknya setiap hari.
“Walaupun pernah
menjabat Menteri Muda Penerangan Republik Indonesia dan bahkan menjadi delegasi
di Kairo untuk memperoleh dukungan untuk negara kita yang sukses itu A.R Baswedan
masih harus menjalani penderitaan lahir
dan batin,” dalam
buku biografi AR Baswedan Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan
(tulisan Suratmin & Didi Kwartanada, penerbit Gramedia).
Sampai akhir
hayatnya, AR. Baswedan tinggal menumpang
di Yogyakarta. Adapun mobil yang dimilikinya merupakan
hadiah dari sahabatnya Adam Malik yang saat itu menjadi Wakil Presiden RI.
Keyakinannya itu, ia menjadi seorang yang tabah, tangguh, dan tak mudah
tergoyahkan, ia tetap optimis akan keberhasilan
cita-citanya.
Komentar0